About
Berbagi adalah kemuliaan.
Semakin banyak berbagi menjadikan kita semakin kaya.
Kaya dalam Nuraniah
Pages
Saturday, September 1, 2012
Grand Livina dan Kisah Revolusi Manajemen di Nissan
Nissan Grand Livina barangkali memang layak dinobatkan sebagai Car
of The Year untuk tahun 2007 lalu. Diluncurkan bulan April tahun 2007
lalu, produk ini langsung laris manis bak pisang goreng. Laju penjualannya membuat sang penguasa pasar, Kijang Innova, menjadi
ketar-ketir. Kisah manis Grand Livina ini seolah mengulang kesuksesan Nissan X-Trail yang pada tahun 2005 pernah menjadi No.1 SUV in Indonesia. Dua produk ini – dan juga sejumlah varian lain
Nissan lainya – lantas melambungkan kembali nama Nissan dalam pasar
Padahal sepuluh tahun lalu, kinerja Nissan telah berada di ambang kebangkrutan, dan nyaris masuk liang kubur. Jadi, apa yang membuat Nissan bisa melakukan proses pembalikan (turn around) secara
dramatis?
Kisah tentang revolusi manajemen di Nissan mungkin tak kalah atraktifnya dengan tampilan manis Grand Livina. Karena itu, mari kita simak bersama.
Alkisah pada tahun 1999, bau kemenyan kematian kian merebak di
setiap sudut pabrik Nissan, Jepang. Lini produknya kian dilupakan
orang, dan setiap tahun terus didera kerugian demi kerugian. Kinerja
keuangannya berdarah-darah, dan pada tahun 1998, hutang Nissan
sudah mencapai Rp 200 trilyun (duh, malang benar nasibmu…).
Terompet kematian sebenarnya tinggal disuarakan, dan para petinggi
Nissan hanya bisa duduk terpekur dalam jerit kesedihan yang teramat
perih. Namun persis pada momen memilukan itu, muncul sang dewa
penyelamat dari Perancis. Sang dewa itu bernama…….Renault.
Setelah melalui negosisasi yang alot, perusahaan mobil Renault setuju
untuk membeli 37 % saham Nissan dan menggelontorkan dana segar
untuk menyelamatkannya. Namun, Renault juga minta satu hal :
posisi CEO Nissan. Demikianlah, setelah disepakati, Renault lalu
mengutus salah satu eksekutif terbaiknya bernama Carlos Ghosn
untuk menjadi CEO Nissan (sebuah fenomena yang juga amat langka
di Jepang, orang non-Jepang bisa menjadi CEO perusahaan besar
Jepang).
Pesan Renault untuk pria keturunan Lebanon ini lugas : segera angkat
koper ke Jepang, selamatkan Nissan, dan jangan pernah kembali ke
Paris sebelum engkau berhasil. Begitulah, pada pertengahan tahun
1999, Carlos Ghosn resmi menjadi CEO Nissan untuk memulai sebuah
mission almost impossible.
Segera sejak itu, Carlos melakukan serangkaian langkah kunci untuk
merevitalisasi kebesaran Nissan. Yang pertama ia lakukan adalah
building sense of urgency untuk berubah. Pilihan bagi Nissan saat itu
memang cuma dua : berubah atau mati. Dan fakta serta data yang
ada memang mampu membuat segenap pekerja Nissan percaya
bahwa kondisi Nissan sudah berada pada titik nadir, and they have to
change to survive.
Langkah berikutnya adalah meluncurkan apa yang ia sebut sebagai
Nissan Recovery Plan. Dalam rencana inilah dipetakan secara detail
dan jelas tindakan kunci apa saja yang perlu dilakukan untuk
mentransformasi Nissan. Dalam recovery plan ini terdapat dua strategi
kunci. Yang pertama adalah segera melakukan revitalisasi produkproduk
baru Nissan. Proses pengembangan produk baru harus
dipercepat dan segera ditingkatkan kapabilitasnya. Disini Nissan
merekrut salah satu desainer mobil top Jepang, Shiro Nakamura,
untuk menjadi Chief Design Nissan, dan keputusan ini ternyata kelak
terbukti amat vital untuk merevitalisasi lini produk Nissan. Strategi
yang kedua adalah melakukan efisiensi biaya secara besar-besaran.
Termasuk didalamnya adalah menutup pabrik-pabrik yang tidak
produktif, mensentralkan proses purchasing secara global agar lebih
efisien, serta juga mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang non
value-added.
Langkah terakhir yang dilakukan Carlos Ghosn adalah membetuk Tim
Inti yang langsung dikomandani dirinya. Tugas tim ini jelas dan tegas :
memastikan bahwa semua yang tercantum dalam recovery plan dapat
di-EKSEKUSI dengan tuntas. Eksekusi atau implementasi menjadi kata
kunci disini. Dan beruntung, Carlos ternyata bukan tipe leader yang
hanya bicara visi, visi dan visi saja alias hanya blah-blah-blah. Carlos
merupakan tipe eksekutor sejati. Ia selalu fokus pada hasil (result
oriented) dan berorientasi pada bagaimana menuntaskan proses
eksekusi. Sikap semacam ini tak pelak merupakan elemen penting
untuk memastikan agar semua recovery plan itu tak hanya tinggal
rencana – namun benar-benar diimplementasikan sesuai sasaran.
Serangkaian langkah kunci diatas ternyata benar-benar membawa
keajaiban. Pada tahun 2001 Nissan telah kembali meraih keuntungan,
dan terus mengalami pertumbuhan yang mengesankan hingga hari ini.
Melalui tindakan eksekusi yang terukur dan brilian, ternyata Carlos
bisa menuntaskan misi yang dibentangkan ke pundaknya. “From Zero
to Hero”, begitu mungkin judul yang pas untuk menarasikan drama
penyelamatan Nissan.
Nissan Grand Livina dan Nissan X-Trail mungkin boleh terus
melenggang di jalanan. Namun setiap kali melihat tampilan mereka
yang indah nan elegan, saya selalu teringat akan kisah revolusi
manajemen di Nissan : itulah sederet kisah tentang heroisme, tentang
spirit perubahan, dan tentang semangat pantang menyerah. Bravo
Nissan.
Bravo Carlos Ghosn.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment